Senin, 08 November 2010

Petani Khawatir Serangan Hama


Banyumas, Kompas - Memasuki musim tanam pertama pada awal November ini, para petani di wilayah Kecamatan Kemranjen, Sumpiuh, dan Tambak, Kabupaten Banyumas, mengaku khawatir akan serangan berbagai jenis organisme pengganggu tanaman (OPT) seperti wereng, keong mas, dan tikus.

Pasalnya, lahan pertanian mereka saat ini terlalu lembap akibat tingginya curah hujan serta genangan banjir beberapa hari lalu.”Kalau terus-menerus banjir seperti ini selalu diikuti datangnya hama seperti awal tahun lalu. Tapi mungkin saja sekarang lebih parah karena hujannya lebih banyak dan kena banjir pula,” kata Sumarsam (51), petani di Desa Banjarpanepen, Sumpiuh, Jumat (5/11) pekan lalu.

Hama keong mas dan tikus adalah momok utama petani setempat dalam beberapa musim tanam terakhir. Dua jenis hama itu paling sulit diberantas karena perkembangbiakannya cepat.

Demikian juga wereng batang coklat. Meskipun sempat menghilang pada musim tanam 2009, hama yang merusak batang padi sejak usia dini ini sudah mulai kembali sejak musim tanam kedua 2010 lalu.

Sebagian petani padi di Sumpiuh, Tambak, dan Kemranjen saat ini sudah memulai masa pembenihan padi. Masa pembenihan ini akan berlangsung selama 25 hari. Akhir November sudah mulai tanam bibit.

Petugas pengamat hama pada Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jateng, Katiran, mengatakan, dengan curah hujan yang tinggi saat ini, sedapat mungkin petani harus membuat kering lahan pertanian sebelum memulai masa tanam. (HAN)

Plant, Science, Biotechnology, PCR, Genome, Genes,

Kamis, 04 November 2010

Mengusir Hama dengan Menggunakan Semut


Kalau Anda pernah digigit semut ketika memanjat pohon mangga atau nangka, mungkin Anda akan kesal oleh serbuan semut-semut yang begitu gencar. Seringkali gigitannya membuat kita mengaduh-aduh. Serangga kuning & ramping ini membangun sarangnya di daun-daun. Jumlah mereka bisa mencapai ratusan, mempunyai teritori & terkenal agresif dalam mempertahankan wilayahnya. Itulah semut Rangrang (Oecophylla smaragdina).

Semut Rangrang bukan sembarang semut. Mereka unik dan berbeda dari jenis semut lainnya. Manusia telah menggunakan jasa mereka dalam perkebunan berabad-abad yang lalu. Tercatat, sekitar tahun 300 Masehi di Canton (China), semut ini digunakan untuk mengusir hama pada tanaman jeruk. Orang mengambil sarang-sarang semut ini dari hutan, memperjualbelikannya, lalu meletakkannya di pohon-pohon jeruk jenis unggul. Teknik yang sama tetap dilakukan sampai abad ke-12, dan masih diterapkan di selatan China sampai saat ini. Di perkebunan kopi di Lampung, kita dapat menemukan koloni semut ini bersarang di daun-daun kopi. Ternyata, pada tanaman kopi yang ditempati sarang ini lebih baik keadaannya daripada tanaman yang tidak ditempati semut Rangrang. Produksi kopi pun jadi lebih meningkat.

Para pakar serangga di Ghana telah menggunakan jenis semut Rangrang Afrika (Oecophylla longinoda) untuk mengendalikan hama tanaman cokelat. Kehadiran semut ini ternyata mampu mengurangi dua macam penyakit serius yang disebabkan oleh virus dan jamur, yaitu dengan jalan menyerang dan membunuh kutu daun yang menjadi penyebar penyakit ini. Kutu daun sangat merugikan, karena menghisap cairan tanaman sekaligus memakan jaringannya. Cara pengendalian hama seperti ini kita kenal sebagai “biological control” dan ini merupakan contoh tertua dalam sejarah pertanian.

Biokontrol dan Bioindikator
Penggunaan semut Rangrang sebagai biokontrol ternyata sudah dilakukan pula oleh sebagian penduduk Indonesia, meskipun tidak besar-besaran. Misalnya jika pohon jambu atau pohon mangga di pekarangan terserang hama, mereka akan memindahkan semut-semut Rangrang ke pohon tersebut.

Sebenarnya bukan itu saja manfaat yang diberikan semut Rangrang kepada manusia. Dengan sifatnya yang sangat peka terhadap perubahan udara, manusia dapat menggunakan semut ini sebagai indikator keadaan udara di suatu lingkungan.

Semut Rangrang menyukai lingkungan yang berudara bersih. Jangankan asap pabrik atau asap kendaraan bermotor, asap yang berasal dari pembakaran sampah di kebun saja dapat membuat mereka menyingkir. Tak heran, jika di Jakarta atau di kota-kota besar lainnya kita semakin sulit menemukan sarang mereka di pepohonan.

Adakalanya jarang pula kita mendapati mereka di daerah perkebunan. Karena sekarang pemberantasan hama dengan pestisida lebih banyak digunakan, sehingga bukan saja hama yang mati tetapi banyak serangga lain yang berguna turut terbunuh. Belum lagi perburuan yang dilakukan manusia terhadap semut Rangrang. Banyak orang mengambil sarang-sarang mereka untuk mendapatkan anak-anak Rangrang (“kroto”) sebagai makanan burung peliharaan. Tentunya hal ini akan menjadikan kian menyusutnya populasi semut Rangrang. Padahal keberadaan semut ini penting sebagai musuh alami serangga hama, sekaligus sebagai indikator biologis (hayati) terhadap kualitas udara di suatu daerah.

Ratu Dilindungi
Mengenal kehidupan serangga yang berjasa ini memang cukup mengesankan. Serangga sosial ini membuat sarang di kanopi hutan-hutan tropis sampai kebun-kebun kopi maupun cokelat. Mereka membentuk koloni yang anggotanya bisa mencapai 500.000 ekor, terdiri atas ratu yang sangat besar, anak-anak, dan para pekerja merangkap prajurit. Semuanya betina, kecuali beberapa semut jantan yang berperan kecil dalam kehidupan koloni. Semut-semut jantan itu segera pergi jika telah dewasa untuk melangsungkan wedding fight yaitu terbang untuk mengawini sang ratu, lalu mereka tidak kembali lagi ke sarangnya.

Di antara anggota koloni, yang paling giat adalah kelompok pekerja. Mereka rajin mencari makan, membangun sarang, dan gigih melindungi wilayah mereka siang dan malam hari. Sekitar setiap satu menit, salah satu pekerja memuntahkan makanan cair ke dalam mulut ratu. Mereka menyuapi ratu dengan makanan yang telah dilunakkan sehingga memungkinkan sang ratu menghasilkan ratusan telur per hari. Jika ratu telah bertelur, para pekerja akan memindahkan telur-telur itu ke tempat yang terlindung, membersihkannya, dan memberi makan larva-larva halus jika telah menetas.

Semut Rangrang dikenal pula sebagai senyum penganyam, karena cara mereka membuat sarang seperti orang membuat anyaman. Sarang mereka terbuat dari beberapa helai daun yang dilekukkan dan dikaitkan bersama-sama membentuk ruang-ruang yang rumit dan menyerupai kemah. Dedaunan itu mereka tarik ke suatu arah, lalu dihubungkan dengan benang-benang halus yang diambil dari larva mereka sendiri. Para pekerja bergerak bolak-balik dari satu daun ke daun lainnya membentuk anyaman.

Makhluk asing yang mencoba menyusup ke daerah sarang, akan mereka halau dengan sengatan asam format yang keluar dari kelenjar racun mereka. Kalau semut jenis lain sengaja membiarkan bahkan memelihara kutu daun hidup dalam wilayah kekuasaan mereka, maka semut Rangrang justru sebaliknya. Mereka berusaha mati-matian menyingkirkan serangga lain yang hidup pada pohon tempat sarang mereka berada. Oleh karena itu, jika kita membedah sarang mereka seringkali kita menemukan bangkai kumbang atau serangga lain yang lebih besar dari semut ini.

Itulah keistimewaan yang dimiliki semut Rangrang sehingga membuat mereka memegang arti penting dalam pengendalian hama secara alami. Cukup sederhana, namun tidak berisiko terhadap lingkungan seperti halnya jika kita menggunakan insektisida kimia.

Pesan Kimiawi
Semut ternyata mempunyai semacam kelenjar yang menghasilkan cairan khusus yang digunakan untuk menandai wilayah mereka. Kelenjar itu disebut kelenjar dubur. Cairan khusus yang dihasilkannya (disebut pheromone) mereka sapukan ke tanah dan hanya para anggota sarang saja yang dapat mengenali baunya. Jadi semut penganyam ini menggunakan pesan kimiawi untuk menuntut rekan satu sarang menuju daerah baru mereka.

Tentu saja jejak bau itu tidak hanya mereka tinggalkan ketika mencari daerah baru dan ketika mempertahankannya, tetapi juga digunakan saat mereka mencari makan. Jika seekor semut menemukan seonggok makanan, dia akan mengerahkan teman-temannya untuk mengangkuti makanan itu ke sarang. Kelenjar duburnya akan meninggalkan jejak bau di sepanjang jalan antara sarang dan lokasi temuan itu. Ketika berpapasan dengan temannya, semut ini memberi rangsangan dengan memukulkan antenanya seraya memuntahkan sedikit makanan yang ditemukan tadi ke mulut rekannya itu.

Mengatasi Hama Keong Mas


Keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck)

diperkenalkan ke Asia pada tahun 1980an dari Amerika Selatan sebagai makanan potensial bagi manusia. Sayangnya, kemudian keong mas menjadi hama utama padi yang menyebar ke Filipina, Kamboja, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.Mengapa Keong Mas Harus Dikendalikan? Keong mas memakan tanaman padi muda yang baru ditanam (system tapin) serta dapat menghancurkan tanaman pada saat pertumbuhan awal. Serangan keong mas yang parah dapat mengakibatkan tanaman padi yang baru di tanam habis total pada populasi keong mas yang tinggi.

Saat-saat Penting untuk Mengendalikan Keong Mas
Saat-saat penting untuk mengendalikan keong mas adalah pada 10 hari pertama untuk padi tanam pindah dan sebelum tanaman berumur 21 hari pada tabela (tanam benih secara langsung). Setelah itu, tingkat pertumbuhan tanaman biasanya lebih tinggi daripada tingkat kerusakan akibat keong.

Bagaimana Mengendalikan Keong Mas?

* Semut merah memakan telur keong, sedangkan bebek (dan kadang-kadang tikus) memakan keong muda. Bebek ditempatkan di sawah selama persiapan lahan tahap akhir atau setelah tanaman tumbuh cukup besar (misalnya 30-35 hari setelah tanam); keong dapat dipanen, dimasak serta dimakan.
* Pemungutan: Pungut keong dan hancurkan telurnya. Hal ini paling baik dilakukan di pagi dan sore hari ketika keong berada pada keadaan aktif. Tempatkan tongkat bambu untuk menarik keong dewasa agar meletakkan telurnya.
* Penggunaan umpan: Tempatkan dedaunan yang menarik perhatian keong agar membuat pemungutan keong lebih mudah (tanaman yang memungkinkan adalah: pisang dan pepaya).
* Pengelolaan air: Keong bersifat aktif pada air yang menggenang/diam dan karenanya, perataan tanah dan pengeringan sawah yang baik dapat membantu mengurangi kerusakan. Saluransaluran kecil (misalnya, lebar 15-25 cm dan dalam 5 cm) juga dapat dibuat, setelah persiapan lahan tahap akhir. Buat saluran-saluran kecil dengan menarik kantung berisi benda berat dengan interval 10-15 m atau di sekitar sudut-sudut sawah. Saluran-saluran kecil ini memudahkan pengeringan dan bertindak sebagai titik focus untuk mengumpulkan keong atau membunuh keong secara manual dengan lebih mudah. Apabila pengendalian air baik, pengeringan dan pengaliran air ke sawah dilakukan hingga stadia anakan (misalnya, 15 hari pertama untuk tanam pindah dan 21 hari pertama untuk tabela).
* Pengunaan tanaman beracun: Tempatkan tanaman beracun (misalnya daun Monochoriavaginalis, daun tembakau, dan daun Kalamansi pada bidang-bidang sawah atau di saluran-saluran kecil.
* Pencegahan masuk ke sawah: Tempatkan penyaring dari kawat atau anyaman bambu padasaluran keluar dan masuk irigasi utama untuk mencegah masuknya keong. Bagaimanapun, manfaat dari tindakan ini agak terbatas karena kebanyakan keong mengubur dirinya sendiri dan “hibernasi” di sawah ketika tanah mengering.
* Tanam pindah: Tanam bibit-bibit yang sehat dengan anakan yang sehat. Terkadang, tanam pindah dapat ditunda (misalnya bibit berumur 25- 30 versus 12-15 hari), atau tanam bibit ganda per rumpun.
* Pengendalian secara kimia seperti pestisida yang berbahan aktif niclos amida dan deris mungkin dibutuhkan bila praktek-praktek lainnya gagal. Cek produk-produk yang tersedia secara lokal yang memiliki kadar racun rendah terhadap manusia dan lingkungan. Pertimbangkan untuk menggunakan produk-produk untuk tempattempat rendah dan kanal-kanal kecil, bukan ke seluruh bidang sawah. Selalu pastikan penggunaan yang aman.

sumber

Rabu, 03 November 2010

Harga Beras Mulai Turun


Tegal, Kompas - Harga beras di wilayah Tegal dan sekitarnya mulai turun dalam sepekan terakhir. Hal itu akibat berlangsungnya panen pada beberapa wilayah, serta menurunnya permintaan beras dari masyarakat.

Mahrudi (32), pedagang beras di Pasar Induk Beras Martoloyo, Kota Tegal, Rabu (3/11), mengatakan, penurunan harga beras berkisar antara Rp 100 hingga Rp 150 per kilogram (kg). Saat ini harga beras C4 kualitas pertama di penggilingan padi turun dari Rp 6.000 per kg menjadi Rp 5.900 per kg. ”Penurunan harga beras terutama di penggilingan padi dan pedagang besar. Kalau eceran masih stabil,” katanya.Menurut dia, harga beras mulai turun karena panen telah berlangsung di beberapa wilayah, termasuk Tegal dan sekitarnya. Bahkan, panen berlangsung sambung-menyambung, antara daerah yang satu dengan daerah lain.

Meski demikian, akibat banyaknya hujan, kualitas hasil panen padi tidak maksimal. Beras yang dihasilkan banyak yang rusak, sehingga harganya murah.

Turunnya harga beras, lanjut Mahrudi, juga akibat menurunnya permintaan beras dari masyarakat. Saat ini, rata-rata ia hanya mampu menjual sekitar 0,5 hingga 2 ton beras per hari, atau turun sekitar 40 persen dari kondisi normal. ”Kalau permintaan dari luar Jawa masih stabil,” ujarnya.

Nur Edi (50), pedagang beras lainnya di Pasar Induk Martoloyo mengatakan, kondisi pasar beras saat ini sedang sepi. Rata-rata, ia hanya mampu menjual sekitar lima kuintal beras per hari. Ia mengaku menjual beras C4 kualitas pertama Rp 6.500 per kg, dan beras C4 kualitas sedang Rp 6.100 per kg.

Penurunan harga beras tersebut, berimbas pada penurunan harga gabah dari petani, termasuk petani di wilayah Brebes.

Ketua Gabungan Kelompok Tani Mekar Tani Desa Pagejugan, Kecamatan Brebes, Mashadi, mengatakan, harga gabah kering giling (GKG) turun dari Rp 3.300 menjadi Rp 3.000 per kg, sedangkan harga gabah kering panen (GKP) turun dari kisaran Rp 2.000 hingga Rp 2.200 per kg, menjadi Rp 1.800 hingga Rp 1.900 per kg.

Saat ini, lanjutnya, hampir semua petani di Brebes sudah panen. Bahkan beberapa di antaranya sudah mulai bersiap untuk kembali memulai tanam. Akibatnya, harga gabah turun diikuti dengan penurunan harga beras.

Menurut dia, penurunan harga gabah dan beras yang terjadi setiap musim panen, sangat merugikan petani. Pemerintah seharusnya membantu mengatasi persoalan tersebut.

Misalnya, memindahkan subsidi pupuk ke subsidi harga jual padi. Selama ini, meski mendapatkan subsidi, sebagian petani kesulitan mendapatkan pupuk. Oleh karena itu, seharusnya subsidi tersebut diberikan pada harga jual hasil panen. (WIE)

Rendemen Gula Jatuh, Para Petani Kecewa


Jakarta, Kompas - Petani tebu memperkirakan produksi gula kristal putih nasional yang bersumber dari tebu dalam negeri tidak akan mencapai 2 juta ton. Itu terjadi karena rendemen gula jatuh. Para petani tebu juga kecewa dengan sikap pemerintah yang menelantarkan mereka.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Abdul Wachid, Rabu (3/11), saat dihubungi di Kudus, Jawa Tengah, mengatakan, jika melihat panen tebu sekarang sulit, produksi gula nasional bisa di bawah 2 juta ton.Dari pengamatan di lapangan dan hasil laporan petani tebu di daerah-daerah, rendemen gula dalam tebu turun drastis. Bahkan ada sekitar 80.000 hektar tebu yang tidak bisa dipanen akibat kesulitan memanen.

Tebu sebanyak itu setara dengan gula 350.000 ton.

Dalam kondisi petani yang serba sulit, kata Wachid, pemerintah tidak berbuat apa-apa.

Petani dibiarkan telantar sendiri menghadapi berbagai kesulitan. Rapat-rapat koordinasi dengan pemangku kepentingan juga tidak dilakukan. Petani bahkan tidak pernah diundang untuk mencari solusinya.

Penurunan produksi gula juga menimpa PT Perkebunan Nusantara X. Direktur Produksi PTPN X Tarsisius Sutaryanto menyatakan, produksi gula PTPN X diperkirakan turun dari 428.000 ton tahun 2009 menjadi 392.000 ton tahun ini.

Ketua Umum APTRI Arum Sabil mengatakan, yang diharapkan petani dari pemerintah adalah langkah nyata. Pemerintah tidak hanya memberikan arahan, tetapi bisa mengimplementasikan kebijakannya. (MAS)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...